Senin, 30 Januari 2012

Maaf.

Bila hidup penuh pengandaian, salah-kah bila aku berandai rindu tak pernah ada?

Aku berdiri di atas sepetak pasir putih yang terhapus gelombang laut. Berupaya menggulung kasar kesepuluh jari kaki yang semakin rapuh. Aku mengamati seluruh pesisir yang saling menyisir butir-butir pedih dalam perjalanan hidup-nya. Aku ingat. Persis. Seakan fragmen itu kembali menyorot jauh ke sana.

Waktu itu pantai- tempat awal kita berjumpa. Aku tak tahu siapa kamu. Jua kamu. Tak tahu aku. Kita saling berkenalan. Pertemuan awal itu menanam benih rasa di dasar kehampaan. Di tengah goyah yang merebah. 

Namun waktu itu terlalu cepat. Aku terlalu tenggelam dalam kekecewaan. Salah-ku, menjadikan-mu sebagai sosok tanpa rupa yang kerap menjadi pelampiasan hati.

Hingga kau sadar, lalu pergi.

Tak ada lagi hangat jari yang memeluk lengan-ku.
Juga aroma parfum yang melekat di raga-ku, ketika dekapan itu berangsur membeku.
Tak ada lagi senyum yang tersimpan.
Semua-nya mati. Mati menjadi air mata.
Sepi.
Tak ada arti.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

Aku menangis. Di sana, di atas sepetak pasir. 
Luka yang terlanjur membunuh-mu.
Aku jatuh, jatuh di sana. Di atas sepetak pasir.
Tenggelam perlahan bersama luka yang membuat-ku terkesiap.

Maafkan aku.
Maafkan waktu.
Maaf bila takdir terlalu kejam membawa-mu ke sini. Ke tempat ini. Ke hidup-ku.
Maaf.
Maaf.
Hanya maaf. Yang mampu kuucap.
Maaf.


Untuk kamu yang terdiam bisu di atas langit jingga, tersenyum-lah. Aku tak ingin angin melarut-kan kesedihan diantara kita. Aku menyayangi-mu.

Akh, andai rindu itu tak pernah ada.








. admin @kapusdt - sdt.

Minggu, 29 Januari 2012

Dua puluh tahun lalu.

Ada yang salah dibalik jendela tua itu. 

Kumpulan embun lucu luntur seketika, kala mata memandang jauh dibalik tirai jendela. Kulihat titik kecil di tengah kornea mata-nya. Di sudut lampu taman, kurekam seluruh gerak-gerik tubuh-nya. Tersenyum, tertawa, merintih, menjerit, terharu, hingga senyum itu....

Dua puluh tahun sudah hampa menyakiti sanubari. Menginjak, meludahi, mencemooh tiap-tiap rasa yang bergetar bagai senar yang enggan dibunyikan.

Ia terdiam sejenak. Menatap-ku rekat-rekat.
Ia turun lewat tangga kelima.
Membawa sebuah kotak cokelat tua.
Tak ada gagang, Hanya kayu yang mulai keropos.

Hingga tanpa kusadari, lensa kamera terlalu dekat di wajah-nya.
Ia berdiri. Terdiam, membisu. Menyerah-kan kotak tua itu tanpa sepatah kata-pun.
Binar cahya menyeruak dari mata-nya. Kebiruan. Biru langit waktu pagi.


"Nama-ku cinta."  -kata-nya.

Semenjak itu, rindu lenyap begitu saja.
Yang terlewatkan kini kembali.
Cinta itu. 
Ya, cinta itu yang tumbuh dua puluh tahun lalu. 






.admin @kapusdt - sdt.



Andai.

Andai aku hidup sebagai buah kelapa, tentu dosa tak mampu tertawa layak-nya penguasa. Aku mampu menjadi sosok yang berguna, dalam tiap lapis tubuh-ku. 
Batok kering. Mampu terbentuk menjadi seni tradisional anak-anak. Tawa mereka lepas, menyadari lima jari beralas batok cokelat tua. Juga isi tubuh-ku. Halus putih kelapa mampu menjadi sajian utama. Beserta air segar-nya. Akh, andai begitu. Tentu hidup ini tak pernah mengenal kata sunyi.


Senyap-senyap kusudahi tulisan kecil ini. Rasa-nya urat-urat kecil di sekujur tubuh-ku mulai jenuh. Bahkan teriakan-nya mengencang, hingga sakit kembali menusuk. Namun kupandang kembali langit hitam kelam. Malam itu tak ada bintang. Bulan purnama samar, menyuruh-ku lekas tidur. Baiklah. Kurebahkan seluruh penat yang kini menggerinjal umpama bola pedih, nan kusut. Hingga perlahan mata ini terpejam, sunyi. 
Lelap, lelap, dan lelap. Jauh pergi ke alam mimpi.










.admin @kapusdt - sdt.

Etsa

Akulah sang etsa. Samar rupa. Abu-abu.


Sembunyi dibalik hitam pena. Tanpa wujud.


Akulah sang etsa, miskin rupa. Tanpa warna.


Terbenam dibalik punggung sang muna.


Akulah sang etsa, hanya etsa.


Bukan pena.


Akulah etsa, di atas kertas.


Akulah etsa, sisa-sisa nestapa.


Akulah etsa, tak sempurna.


Akulah etsa, bercela.


Akulah etsa, hanya etsa.


Tak nyata.


Akulah etsa, tergores amarah.










.admin @kapusdt - sdt.

Semenjak kepergian-mu

Wajah itu lenyap. Sahabat-ku?


Aku ingat, dulu kita berjanji untuk tetap bersama.
Kita berpandangan lain tentang masalah.
Masalah ialah jiwa, ketabahan pengisi-nya.
Sejak kecil kita bersama.
Bersenda gurau, melewati tiap-tiap lorong kehidupan.
Menjalani seluruh-nya tanpa beban. 
Hanya tawa yang melekat diantara kita.
Seluruh-nya baik-baik saja...


Namun kini.
Waktu merampas senyuman itu.
Wajah-mu lenyap, jua hati-mu.
Tak ada lagi sosok yang dulu.


Aku menjerit-jerit
Seolah lelah menitihkan air mata.
Aku menangis.
Menangis..
Dan menangis.
Setiap hari-nya.
Kala itu, kepergian-mu.


Kau tahu? 
Kehampaan menelan jiwa-ku.
Bahkan hujan enggan menyentuh kulit-ku.
Aku melihat semua ini tanpa mata.
Seakan kenangan itu jauh, terbenam.


Merpati terbang tinggi.
Langit gelap.
Fajar sembunyi.
Bintang merintih.
Mereka sedih, sobat,
kita tak lagi duduk sebagai penikmat.


Sahabat, luka ini semakin besar.
Tak mampu diukur, bahkan mustahil terobati.
Semenjak kepergian-mu, aku merasa dunia berbeda.
Menjauh, dan semakin meredup.








.admin @kapusdt -sdt.

Aku bisa apa?

Air mata mengguyur pipi-nya
Hati panas, luka, menganga
Rintih pilu menjerit-jerit
Mengiris telinga tipis garis


Aku terdiam di sisi-nya
Bibir terjahit, mata duka
Iba tak mampu berkata
Aku bisa apa?


Lantas suara panas melekat
Di telinga yang semakin memanas
Cepat-cepat ia bercermin
Menghapus keluh derita-nya


Lagi-lagi aku terdiam
Dengan bibir terbungkam
Mata hati kian mengatup
Aku bisa apa?






.admin @kapusdt - sdt.