Aku berdiri di atas sepetak pasir putih yang terhapus gelombang laut. Berupaya menggulung kasar kesepuluh jari kaki yang semakin rapuh. Aku mengamati seluruh pesisir yang saling menyisir butir-butir pedih dalam perjalanan hidup-nya. Aku ingat. Persis. Seakan fragmen itu kembali menyorot jauh ke sana.
Waktu itu pantai- tempat awal kita berjumpa. Aku tak tahu siapa kamu. Jua kamu. Tak tahu aku. Kita saling berkenalan. Pertemuan awal itu menanam benih rasa di dasar kehampaan. Di tengah goyah yang merebah.
Namun waktu itu terlalu cepat. Aku terlalu tenggelam dalam kekecewaan. Salah-ku, menjadikan-mu sebagai sosok tanpa rupa yang kerap menjadi pelampiasan hati.
Hingga kau sadar, lalu pergi.
Tak ada lagi hangat jari yang memeluk lengan-ku.
Juga aroma parfum yang melekat di raga-ku, ketika dekapan itu berangsur membeku.
Tak ada lagi senyum yang tersimpan.
Semua-nya mati. Mati menjadi air mata.
Sepi.
Tak ada arti.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."
Aku menangis. Di sana, di atas sepetak pasir.
Luka yang terlanjur membunuh-mu.
Aku jatuh, jatuh di sana. Di atas sepetak pasir.
Tenggelam perlahan bersama luka yang membuat-ku terkesiap.
Maafkan aku.
Maafkan waktu.
Maaf bila takdir terlalu kejam membawa-mu ke sini. Ke tempat ini. Ke hidup-ku.
Maaf.
Maaf.
Hanya maaf. Yang mampu kuucap.
Maaf.
Untuk kamu yang terdiam bisu di atas langit jingga, tersenyum-lah. Aku tak ingin angin melarut-kan kesedihan diantara kita. Aku menyayangi-mu.
Akh, andai rindu itu tak pernah ada.
. admin @kapusdt - sdt.
. admin @kapusdt - sdt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar