Jumat, 23 Maret 2012

Sebab itu aku memilih kenangan.



Apa yang kau pikirkan ketika pena mulai berbicara?

Apa yang kau pikirkan ketika selembar kertas mulai menyerap seribu keriuhan?

Dan kita diam, memutar kembali sebuah sandiwara.

Yang sempat terkubur, layaknya orkestra tanpa suara?


Sebab itu aku memilih kenangan.

Karena ia tak pernah mengenal perbedaan.

Yang ada hanya sketsa. ya, sketsa. gambaran hitam-putih yang penuh dengan canda.

Meski dewa petir sibuk bergumam malam-malam, ia tak pernah padam.


Kenangan ibarat sebuah jalanan.

yang akan kembali tertanam bila mata hatimu lelah beradu pada kebisingan.

Kenangan ialah penguat kelesuan.

Bila engkau kian jenuh pada bisikan setan-setan.


Pandanglah sejenak kebelakang, ke arah memori tanpa dosa

Pasti....

Jiwa-mu akan memeluk sebuah kehangatan.

Dan engkau tertawa.

Mengingat ribuan getir jua air mata kembali mengikat kepala

Coba rasakan.


Sebab itu aku memilih kenangan, karena jari-jari kecil ini lelah berpuisi.

Sebab itu aku memilih kenangan, karena ia menumbuhkan bibit ketenangan.

Sebab itu aku memilih kenangan, sebab ia buta, dan hanya mengenal satu kesungguhan,

yang tersirat tulus, lewat sebilah senyuman,

meski keberadaannya tetap menorehkan tanda tanya.


Ya, sebab itu..

Aku...

Memilih...

Kenangan....




.admin @kapusdt -sdt.

Kamis, 23 Februari 2012

notes.


"Kita butuh hujan, sebagai penawar, puluhan rindu yang malu berlagu."


.admin - sdt.

Hujan.

Sebab hujan ialah nafas.
Bagi para perindu, seperti aku.
Sebab tetes ialah derai
Bagi para pemuja, sepertiku.

Ini aku hujan, sembunyi diam-diam.
Dibalik tawa yang dulu kau simpan.

Ini aku hujan, menangis teriris.
Dibalik senyum yang dulu kau pinjam.

Adakah album lama?
Tuk kembali kuamati bayang diri?

Kau yang simpan hujan, kau yang simpan.
Rasa asing yang kerap menyentuh sedikit-sedikit.

Kau yang simpan hujan.
Wajah-nya, tanya-nya, jua amarah-nya,

Perhatikan, hujan.
Pelangi berlomba melukis.
Padahal ia punya warna yang terang, bukan?

Hujan, hujan.
Kau ibarat sebilah tirai.

Dimana aku ; sang penggerak.
Mampu mengintip sedikit dibalik tirai-mu.
Saat dulu, yang kini tersisa deru.

Hujan, biar ku teriak lantang.
Soal cinta, soal rindu, soal ego.
Soal kita, soal duka.
Jua tanda tanya.
Yang tersimpan dalam wujud periuh.

Hujan.





.admin @kapusdt - sdt.

Rabu, 15 Februari 2012

Satu kali ini saja.

Dan aku butuh sesuatu untuk mengisi gelas kaca.
Suka-suka anda, mau fanta atau air biasa.
Aku terima saja.

Jua cemilan untuk mengisi toples kosong.
Suka-suka anda, mau kacang atau sekadar kue gosong.
Aku tak pernah mengelak, asal jangan bohong.

Aku butuh sesuatu untuk ku-kunyah
Terserah, mau sayur atau buah,
Aku tak pernah memohon yang susah-susah.

Aku butuh setetes air,
untuk mengguyur kerongkongan berlendir
Terserah anda mau pakai apa, 
Asal jangan sampai membuat gigi tergelincir.

Aku butuh seikat mawar tuk kuciumi malam-malam
Terserah, mau merah atau hitam.
Asal jangan ada yang layu, legam.

Tapi satu kali ini saja aku ingin yang susah.
Boleh-kah? Satu kali sajalah.

Aku.
Butuh.
Sesuatu.
Untuk mengisi relung hati,
kali ini hanya dua pilihan.

Rindu, atau cinta?
Cepat isi, sebelum senja mencibir pagi.
Atau malam, memusuhi bintang.





.admin @kapusdt -sdt.

Sabtu, 11 Februari 2012

Rasa kita.



Rasa apa ini? Tiba-tiba menyeruak dalam kalbu. Aku tak pernah menyuruh-nya hadir,
di antara kita.



Ini yang aku takuti

Selama lima belas tahun lamanya

Aku, kamu, dia. Kita.

Bersenda dibalik jendela,

jua tertawa kala tangis lenyap , diantara kita.



Ini yang aku duga.

Kita terlibat dalam satu ikatan rasa.

Yang entah apa namanya.

Membunuh seluruh amarah,

yang kian panas membara.



Ini yang aku kira.

Kita, lagi-lagi kita.

Saling mengadu domba.

Senyum depan mata,

Tangis membahana.




Ini yang nyata.

Kita.

Saling menjauh.

Aku, kamu, dia.

Ya, kita.

Jauh, jauh, jauh.

Luruh dalam satu,

rasa.




Ini yang aku benci.

ya, benci.

Rasa ini.

Rasa kita.

Rasa yang sama.

Rasa yang menyekat kita.

Dalam satu mimpi.

Hampa doa.




Ini yang aku enggan rasakan.

Ya, ini.

Rasa ini, kawan.

Sanggup-kah kau jabari artinya?

Aku benci rasa ini.

Ia jahat,

Membuat kita jauh, berubah.




Ini, sobat, ini.

Ya, tak salah lagi!

Yakini aku, ini!

Rasa ini!

Rasa ini bukan?

Yang pelan-pelan.

Menyentuh asa kita?



Maaf.

Maaf sobat, maaf.

Maaf bila rasa tanpa nama

Menodai hati kita.



Maaf sobat, maaf.

maaf yang kian berjubah derai.

Maaf, sobat. Maaf.

Maaf.


Maaf, sekali lagi maaf.

Maaf bila rasa ini.

Akh sudah-lah.

Aku hanya mampu berucap satu,

Maaf.




.admin @kapusdt -sdt.

Jumat, 10 Februari 2012

Mimpi.

Dekap aku bulan...

Dekap kuat-kuat..

Dekap dalam hasrat

Yang erat mengikat.



Kecup aku bintang

Lewat pijar gemintang

Di langit hitam terbentang

Riuhkan geram garang



Bisik aku, hujan

Bisik pelan-pelan

Di ambang angan-angan

Tanpa embun jua awan




Bulan,

Bintang,

Hujan,

izinkan sebait sajak

mampir di tepi

Rumah-mu, malam ini

Sebentar saja

Di sana

Di ruang sederhana,

Mimpi namanya.




.admin @kapusdt - sdt.

Senin, 06 Februari 2012

Aku Sudah Biasa.

Aku sudah biasa.
Bercanda dalam kesah-ku.

Aku sudah biasa.
Terluka akan nestapa.

Aku sudah biasa.
Diam dalam bisu.

Aku sudah biasa, biasa.
Aku sudah terbiasa.

Aku sudah biasa, cinta.
Tergores api kenangan.

Aku sudah biasa, rindu.
Menghisap debu sendu.

Aku sudah biasa, biasa.
Tak apa. Sebentar saja.

Aku sudah biasa.
Menelan tawa yang redup.

Aku sudah biasa.
Terhina sang muna.

Aku sudah biasa, biasa.
Cukup kala itu, saja.

Tak masalah, aku sudah biasa.
Aku tetap bertahan dalam tanya.

Aku sudah biasa... menderita..

Aku..
Sudah..
Biasa..





.admin @kapusdt - sdt.

Sabtu, 04 Februari 2012

Segelas kopi.

.Kopi.






Aku lupa cara melupa. Maka kupilih larutan kopi untuk menghapus kenangan itu. Kenangan hitam yang semakin hitam terguyur serbuk kecil jua air panas. Semoga sakit-sakit di dalam-nya mati bersama segelas kopi.






.Selesai. 
Kebersamaan itu harus selesai.
Bila kau ingin air mata lenyap dalam tawa. 
Tawa yang kini meriuh dalam kepala.
Di sana.








.admin @kapusdt -sdt.

Kamis, 02 Februari 2012

Kamu.

Aku merindukan-mu.


Untuk seseorang yang mungkin tak pernah menyadari arti kerinduan.
Belajar-lah pada bulan.
Ia tahu rahasia-rahasia lama yang tersimpan.
Bahkan sarang yang menjala kehangatan.
Dalam satu ikat api api kenangan.


Aku mencintai-mu.


Untuk seseorang yang mungkin tak pernah menyadari arti sebuah cinta.
Belajar-lah pada sebilah tinta.
Dalam tiap-tiap tetes-nya.
Mencipta rasa.
Dan itulah ia.


Namun jangan pernah belajar tentang luka.
Sebab aku tak pernah ingin melihat kau terluka.
Aku tak punya obat-nya.


Tapi bagaimana bila aku yang luka?
Aku tak butuh obat.
Hanya saja satu penghangat.


Yaitu, kamu.

Selamat tinggal.




Ia membakar habis sebuah surat.
Menelan-nya, dan berharap ia hancur di dalam sana.
Agar sang 'HATI' tahu, apa isi tiap-tiap tetes air mata.




.admin @kapusdt -sdt.

Notes- Rindu.

"Hujan ini mengukir sebait kisah yang kerap ternamai RINDU."



.admin @kapusdt -sdt.

Lensa. - sebuah ilustrasi.

Suatu siang, dua bocah kecil saling mengejek.
Namun tak berapa lama mereka terdiam lelah.
Mereka tidak tahu apa-apa atas apa yang mereka ucapkan.
Mereka terlalu kecil.


"Jika boleh, aku ingin meminjam sebentar lensa-mu."
"Lensa apa?"
"Mata."
"Tapi untuk apa?"
"Aku ingin tahu secara spesifik kekurangan-ku dimata-mu."
"Lalu?"
"Aku akan memperbaiki semua kesalahan-ku."
"Kapan?"
"Mulai dari sekarang."

Kemudian segumpal angin panas menyusup dalam celah rambut kedua bocah itu.
Seperti ada butir-butir pasir yang mengganjal.
Bukan dari langit, ataupun gersang udara.
Tapi dari sana, ucapan mereka, jua kedua tatapan mata-nya.


Lensa.




.admin @kapusdt - sdt.

Senin, 30 Januari 2012

Maaf.

Bila hidup penuh pengandaian, salah-kah bila aku berandai rindu tak pernah ada?

Aku berdiri di atas sepetak pasir putih yang terhapus gelombang laut. Berupaya menggulung kasar kesepuluh jari kaki yang semakin rapuh. Aku mengamati seluruh pesisir yang saling menyisir butir-butir pedih dalam perjalanan hidup-nya. Aku ingat. Persis. Seakan fragmen itu kembali menyorot jauh ke sana.

Waktu itu pantai- tempat awal kita berjumpa. Aku tak tahu siapa kamu. Jua kamu. Tak tahu aku. Kita saling berkenalan. Pertemuan awal itu menanam benih rasa di dasar kehampaan. Di tengah goyah yang merebah. 

Namun waktu itu terlalu cepat. Aku terlalu tenggelam dalam kekecewaan. Salah-ku, menjadikan-mu sebagai sosok tanpa rupa yang kerap menjadi pelampiasan hati.

Hingga kau sadar, lalu pergi.

Tak ada lagi hangat jari yang memeluk lengan-ku.
Juga aroma parfum yang melekat di raga-ku, ketika dekapan itu berangsur membeku.
Tak ada lagi senyum yang tersimpan.
Semua-nya mati. Mati menjadi air mata.
Sepi.
Tak ada arti.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

Aku menangis. Di sana, di atas sepetak pasir. 
Luka yang terlanjur membunuh-mu.
Aku jatuh, jatuh di sana. Di atas sepetak pasir.
Tenggelam perlahan bersama luka yang membuat-ku terkesiap.

Maafkan aku.
Maafkan waktu.
Maaf bila takdir terlalu kejam membawa-mu ke sini. Ke tempat ini. Ke hidup-ku.
Maaf.
Maaf.
Hanya maaf. Yang mampu kuucap.
Maaf.


Untuk kamu yang terdiam bisu di atas langit jingga, tersenyum-lah. Aku tak ingin angin melarut-kan kesedihan diantara kita. Aku menyayangi-mu.

Akh, andai rindu itu tak pernah ada.








. admin @kapusdt - sdt.

Minggu, 29 Januari 2012

Dua puluh tahun lalu.

Ada yang salah dibalik jendela tua itu. 

Kumpulan embun lucu luntur seketika, kala mata memandang jauh dibalik tirai jendela. Kulihat titik kecil di tengah kornea mata-nya. Di sudut lampu taman, kurekam seluruh gerak-gerik tubuh-nya. Tersenyum, tertawa, merintih, menjerit, terharu, hingga senyum itu....

Dua puluh tahun sudah hampa menyakiti sanubari. Menginjak, meludahi, mencemooh tiap-tiap rasa yang bergetar bagai senar yang enggan dibunyikan.

Ia terdiam sejenak. Menatap-ku rekat-rekat.
Ia turun lewat tangga kelima.
Membawa sebuah kotak cokelat tua.
Tak ada gagang, Hanya kayu yang mulai keropos.

Hingga tanpa kusadari, lensa kamera terlalu dekat di wajah-nya.
Ia berdiri. Terdiam, membisu. Menyerah-kan kotak tua itu tanpa sepatah kata-pun.
Binar cahya menyeruak dari mata-nya. Kebiruan. Biru langit waktu pagi.


"Nama-ku cinta."  -kata-nya.

Semenjak itu, rindu lenyap begitu saja.
Yang terlewatkan kini kembali.
Cinta itu. 
Ya, cinta itu yang tumbuh dua puluh tahun lalu. 






.admin @kapusdt - sdt.



Andai.

Andai aku hidup sebagai buah kelapa, tentu dosa tak mampu tertawa layak-nya penguasa. Aku mampu menjadi sosok yang berguna, dalam tiap lapis tubuh-ku. 
Batok kering. Mampu terbentuk menjadi seni tradisional anak-anak. Tawa mereka lepas, menyadari lima jari beralas batok cokelat tua. Juga isi tubuh-ku. Halus putih kelapa mampu menjadi sajian utama. Beserta air segar-nya. Akh, andai begitu. Tentu hidup ini tak pernah mengenal kata sunyi.


Senyap-senyap kusudahi tulisan kecil ini. Rasa-nya urat-urat kecil di sekujur tubuh-ku mulai jenuh. Bahkan teriakan-nya mengencang, hingga sakit kembali menusuk. Namun kupandang kembali langit hitam kelam. Malam itu tak ada bintang. Bulan purnama samar, menyuruh-ku lekas tidur. Baiklah. Kurebahkan seluruh penat yang kini menggerinjal umpama bola pedih, nan kusut. Hingga perlahan mata ini terpejam, sunyi. 
Lelap, lelap, dan lelap. Jauh pergi ke alam mimpi.










.admin @kapusdt - sdt.

Etsa

Akulah sang etsa. Samar rupa. Abu-abu.


Sembunyi dibalik hitam pena. Tanpa wujud.


Akulah sang etsa, miskin rupa. Tanpa warna.


Terbenam dibalik punggung sang muna.


Akulah sang etsa, hanya etsa.


Bukan pena.


Akulah etsa, di atas kertas.


Akulah etsa, sisa-sisa nestapa.


Akulah etsa, tak sempurna.


Akulah etsa, bercela.


Akulah etsa, hanya etsa.


Tak nyata.


Akulah etsa, tergores amarah.










.admin @kapusdt - sdt.

Semenjak kepergian-mu

Wajah itu lenyap. Sahabat-ku?


Aku ingat, dulu kita berjanji untuk tetap bersama.
Kita berpandangan lain tentang masalah.
Masalah ialah jiwa, ketabahan pengisi-nya.
Sejak kecil kita bersama.
Bersenda gurau, melewati tiap-tiap lorong kehidupan.
Menjalani seluruh-nya tanpa beban. 
Hanya tawa yang melekat diantara kita.
Seluruh-nya baik-baik saja...


Namun kini.
Waktu merampas senyuman itu.
Wajah-mu lenyap, jua hati-mu.
Tak ada lagi sosok yang dulu.


Aku menjerit-jerit
Seolah lelah menitihkan air mata.
Aku menangis.
Menangis..
Dan menangis.
Setiap hari-nya.
Kala itu, kepergian-mu.


Kau tahu? 
Kehampaan menelan jiwa-ku.
Bahkan hujan enggan menyentuh kulit-ku.
Aku melihat semua ini tanpa mata.
Seakan kenangan itu jauh, terbenam.


Merpati terbang tinggi.
Langit gelap.
Fajar sembunyi.
Bintang merintih.
Mereka sedih, sobat,
kita tak lagi duduk sebagai penikmat.


Sahabat, luka ini semakin besar.
Tak mampu diukur, bahkan mustahil terobati.
Semenjak kepergian-mu, aku merasa dunia berbeda.
Menjauh, dan semakin meredup.








.admin @kapusdt -sdt.

Aku bisa apa?

Air mata mengguyur pipi-nya
Hati panas, luka, menganga
Rintih pilu menjerit-jerit
Mengiris telinga tipis garis


Aku terdiam di sisi-nya
Bibir terjahit, mata duka
Iba tak mampu berkata
Aku bisa apa?


Lantas suara panas melekat
Di telinga yang semakin memanas
Cepat-cepat ia bercermin
Menghapus keluh derita-nya


Lagi-lagi aku terdiam
Dengan bibir terbungkam
Mata hati kian mengatup
Aku bisa apa?






.admin @kapusdt - sdt.